Bagi Imam Prasodjo, pendidikan karakter dan pendidikan transdisiplin penting untuk mendukung pelajar mengembangkan pengetahuan dan keterampilan. Berangkat dari pemikiran tersebut, sosiolog dan dosen tetap Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) ini menggagas Kampung Ilmu di Desa Cisarua, Kecamatan Tegalwaru, Purwakarta, Jawa Barat.
Kampung Ilmu merupakan kawasan pendidikan transdisiplin hybrid formal-informal. Setelah perjalanan naik-turun dan berkelok-kelok hampir sekitar 1,5 jam dari pusat kota, pengunjung ‘kampung’ ini akan mendapati rangkaian gedung sekolah modern bertingkat milik SMKN Tegalwaru yang diapit Gunung Bongkok dan Gunung Parang.
Integrasi Sekolah Formal dan Non Formal
SMKN Tegalwaru saat ini memiliki empat kelas belajar-mengajar, satu ruangan guru, ruang komputer, laboratorium, dapur praktik, tempat workshop, lapangan olahraga, masjid, asrama guru, perpustakaan, penampungan air. Imam menuturkan, akan dibangun ruang podcast dan Zoom.
Terintegrasi dengan gedung pendidikan formal SMKN Tegalwaru tersebut, sejumlah area pendidikan terapan fungsional juga dibangun di penjuru desa. Beberapa di antaranya yaitu Kebun Ilmu, green house, kawasan peternakan ‘vila’ kambing, area peternakan ikan, dan lain-lain.
Untuk mendirikan kawasan Kampung Ilmu, Imam menuturkan, ia melalui Yayasan Nurani Dunia miliknya didukung warga, guru, dan pemuda kecamatan setempat, perusahaan baja lapis BlueScope, arsitek Andra Matin, BUMN Perhutani, PT Perkebunan Nusantara (PTPN), Bank Mandiri, brand cat Mowilex, dan lain-lain. Imam mengatakan, pendirian Kampung ini diharapkan bisa memicu dunia pendidikan yang memunculkan personal discovery bagi seorang anak.
“The world of education itu harusnya mendorong sebuah dynamic interplay. Ada sebuah interaksi, pergulatan antara lingkungan alam yang kemudian dijelajah, memunculkan personal discovery, agar anak didik menjumpai Aha Effect, ‘that’s it’-nah ini dia!’ Walau bukan pengetahuan baru secara umum, tetapi secara personal adalah pengetahuan baru bagi setiap anak didik,” kata Imam dalam rangkaian kegiatan Fellowship Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP), ditulis Minggu (14/11/2021).
Pria berusia 61 tahun ini menuturkan, harapan tersebut mendorongnya mengintegrasikan sekolah formal dan non formal. Di kawasan Kampung Ilmu, kata Imam, anak-anak SMKN Tegalwaru maupun anak desa sekitar dapat mengikuti kegiatan-kegiatan di gedung sekolah maupun di fasilitas non formalnya.
Contohnya, belajar fotografi dan komputer di ruang sekolah, serta belajar di peternakan kambing. Dengan begitu, lanjutnya, ilmu dan praktik yang berputar di Kampung Ilmu dapat bermanfaat bagi masyarakat di sekitar.
Belajar dari Orang-Orang Kreatif
Imam mengatakan, orang kreatif transdisiplin bisa mengajar dan belajar di Kampung Ilmu lewat kelas-kelas hybrid. Upaya ini, katanya, membuka jalur kontribusi inspirator dan praktisi bagi dunia pendidikan anak yang sebelumnya tersekat administrasi di sekolah-sekolah formal.
“Sayangnya ada sistem administrasi yang menjerat orang kreatif sehingga berada di luar pendidikan. Saya membayangkan, Pramoedya Ananta Toer apa boleh ngajar sastra? Atau Taufik Ismail, apa bisa ia dokter hewan mengajar puisi? Ada kendala (administratif),” tuturnya.
“Saya bermimpi model Kampung Ilmu ini memungkinkan semua orang berkontribusi. Kalau tidak bisa melalui darat, melalui Zoom,” imbuh Imam.
Ia menuturkan, para ahli di bidangnya dapat saling belajar dan mengajar di Kampung Ilmu, sehingga ilmu tersebut bisa diterapkan oleh masyarakat sekitar, dan para ahli itu sendiri. “Termasuk champions di levelnya, seperti ahli ikan koi, kerajinan, dan sebagainya. Integrasikan yang formal dan non formal, lalu robohkan sekat-sekat admisnitratif yang selama ini menolak orang-orang kreatif dari luar untuk ikut berpartisipasi dalam sistem pengajaran,” kata Imam.
Sumber: detik.com